Langsung ke konten utama

Kesejahteraan didalam Seni

Essai Seni oleh : Muhammad Fauzan A.md,Sn
Instructur Musik YMI
Praktisi Musik


    SEJAHTERA BAGIAN HAK
     
“Kalaulah dalam banyak diskusi seni yang menghadirkan pejabat, pengusaha, politikus, mahasiswa dan seniman selalu mendapatkan nilai ‘nol’ sebagai terapan alangkah baiknya seni dikategorikan ‘produk’ tanpa identitas.”

Sejarah Indonesia bersangkut paut dengan perjuangan kemerdekaan sekitar 69 tahun yang lalu. Jauh dari tahun-tahun sebelumnya negeri di Indonesia  bersinggungan dengan tumpah darah melawan colonialisme dari Belanda-Portugis hingga Jepang baik mereka yang datang sebagai misionaris ataupun sengaja sebagai prajurit penjajah namun, disamping mereka yang datang membawa senjata dan politik menjajah, masih terselip didalam kapal-kapal perangnya se-gudang ‘bakul’ untuk membawa hasil bumi di negeri Indonesia untuk mereka dagangkan kembali secara men-dunia. Inilah bukti bahwa Nusantara (Indonesia) ini layak dicuri, layak dijajah, layak diperebutkan karena kekayaan hasil bumi yang dari dulu dan hingga kini masih mereka jajah untuk kesejahteraan hidup mereka sedangkan kita masyarakat Indonesia masih sengsara.
Ada sekitar 27 provinsi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Terdapat 5 pulau besar dan ribuan pulau-pulau kecil yang eksotis bagi geografis Indonesia maka dari itu Indonesia mempererat kesatuan dengan ‘Bhineka Tunggal Ika’ yakni : “walau berbeda-beda tetap satu jua”. Dari hasil georafis wilayah yg luas tersebut  menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki banyak budaya, kesenian dan adat istiadat, kita bisa mencari sumber yang lebih rinci berapa jumlah suku-suku yang ada di Indonesia bila diperkirakan ada sekitar ratusan atau lebih. Misalnya di pulau di sumatera saja ada dominasi persukuan Melayu, Minang, Batak dan Bugis. Jika kita khususkan pada ragam kesenian hanya pada satu pulau besar (misalnya Sumatera) ada sekitar puluhan hingga ratusan ragam kesenian yang memiliki bentuk yang berbeda-beda.
Budaya, kesenian dan adat istiadat tersebut diklaim bagi sebagian orang telah ada di Nusantara ini bahkan ketika bangsa penjajah belum sempat menginjakkan kaki di Nusantara begitu saking tuanya kebudayaan di Nusantara ini tetapi yang ‘menarik’ bukanlah tua ataupun muda melainkan ialah Nusantara memiliki kekayaan secara jumlah maupun kekayaan estetis. Pada banyak peradaban tinggi bangsa-bangsa di dunia seolah olah merumuskan bahwa budaya dan kesenian tak ternilai harganya (baca : sangat berharga) . Apakah ini rumusan yang bisa kita terima sebagai bangsa yang pernah terjajah pada masa lalu..? apakah budaya lebih berharga daripada rempah, emas, minyak bumi, tambang, dan kayu…? (mungkin saya keliru) Padahal mereka (baca : penjajah) berkemungkinan mencuri budaya dan kesenian ini dan mungkin juga mereka bisa menjualnya jauh lebih berharga dari apapun.
Menurut beberapa pendapat yang dapat disesuaikan, “kesenian pada dasar-dasarnya bersinggungan dengan rasa keindahan” dan kesenian bukan semata-mata diperlakukan secara eksklusive pada tatanan penyelenggaraanya seolah-olah rasa keindahan yang eksklusive tersebut hanya mampu dikonsumsi (baca: apresiasi) pada golongan tertentu saja. Misalnya menyaksikan musik Orkestra Cuma di panggung utama Hall Concert atau harga lukisan (kanvas dan cat) yang sama harganya dengan sebuah rumah, dimana seluruh penyelenggaran kesenian (baca: konsumsi) yang eksklusive tersebut cuma didapatkan  dengan nilai jual yang ditukar dengan uang, emas dan rempah tetapi anehnya di Indonesia memiliki cara yang menarik dalam mengkonsumsi kesenian di istilahkan ‘melakukan sesuatu dari sesuatu’ dan dimana saja bisa, untuk siapa saja bisa, hubungan antara ritual pengobatan (kata kerja) – ke – perayaan adat sekampung dan antara syiar agama – ke – hiburan rakyat. Seolah-olah mengatakan disfungsi itu adalah hal yang wajar dan bisa diterima sebagai kata kerja (prediket) yang memang alami jati diri masyarakat.
Mulai dari awal peradaban manusia keindahan memang naluri bagi manusia, insting alami untuk mengalami rasa sesuatu yang lebih bernilai bagi kelangsungan jiwa maupun raga.
Kita pernah mendengar sejarah seni secara sederhana pada belahan dunia, ia (baca : seni) berevolusi dalam bentuk dan pengaruh yang berbeda-beda. Di Indonesia evolusi musik melayu pernah ‘berubah bentuk’ ke aliran baru seperti Dangdut ataupun musik-musik populer dimana musik pada waktu itu berlangsung bersama dengan industri (baca : bisnis/ usaha) musik. Industri musik juga bukanlah sesuatu hal yang meminimalisir ide-ide musik tersebut ia malah memberi peran atas kebutuhan masyarakat di zamannya, sampai di hari ini pun indutri musik masih memberikan peran atas berlangsungnya musik itu sendiri. Nah, bagaimana dengan ‘kesenian kaya’ yang kita punya padahal tidak banyak pelaku seni (seniman) di Indonesia telah mendapat hasil yang mencukupi untuk kebutuhan hidup sebagai pelaku seni lalu dimanakah pemisah antara kesenian kita yang kaya raya dengan pelaku seni kita yang miskin raya.
Sekali lagi saya menuliskan bahwa di Indonesia masih terjadi hal-hal yang memiskinkan masyarakat Indonesia dimana perusahaan-perusahaan besar berdiri kokoh (seperti Chevron ataupun Freeport dari hasil bumi milik Indonesia) sedangkan banyak masyarakat Indonesia masih sengsara. Akhirnya, kekayaan yang tak ternilai harganya seperti budaya, seni dan adat istiadat menjadikan kita bangsa Indonesia kaya raya tetapi tidak menjual akhirnya kita kembali sengsara. Kita kembali menari walau tak memiliki rumah dan kendaraan - kita kembali berpuisi walau tanpa sutra dan kain wol - kita kembali bersyair walau sakit tak pernah mendapat obat.
Kita terpaksa mencoba melupakan apa yang terjadi di negeri ini berangsur-angsur melihat apa yang terjadi dengan dunia luar (baca : luar negeri). Beberapa karya music oleh composer luar negeri seperti Giacinto Scelsi atau Krzysztof Penderecki (mungkin ada lagi) di sinyalir pernah meng-explore ragam dan bentuk ide musical maupun history yang ada di Asia (Nusantara). Terlepas tujuan mereka memulai pandangan baru tentang music di kebudayaan mereka tetapi kita sebagai masyarakat Indonesia cukup heran beberapa karya (bisa jadi, pertunjukan/ riset music) mereka dengan mudah mendapat dukungan dari banyak pihak di Negara mereka sendiri (mungkin saja praktisi kebudayaan mereka ikut serta) dan untungnya lagi, hampir sepenjuru dunia mengenal siapa mereka. Sederhananya saja, kita dengan mudah menemukan literature, video ataupun audio dari beberapa karya musik yang mereka release di dalam situs internet sebagai media pemasok kebutuhan informasi dan akhirnya mereka juga yang kaya raya. Memang selagi masih dalam planet Bumi yang sama bentuk seni bisa menjelma seakan-akan milik tiap-tiap orang.
Entah siapa yang memulai, pada tahun yang modern ini (atau lebih) pergelaran seni pertunjukan menjadi bentuk yang baru seolah-olah tidak ada aturan baku tentang kepemilikan satu budaya dengan lainnya boleh jadi, gambang kayu akan dimainkan dengan piano, atau ragam perkusi-melodi joget (melayu) mampu membuat menari orang afrika dengan istilah “World Music” (misalnya festival jazz world musik). Menurut sederhana saya istilah World Music adalah penerapan istilah yang tidak menguntungkan bagi kita walau diartikan musik dunia wacana ini belum disepakati oleh seluruh pelaku-pelaku musik di dunia, apalagi wacana Musik Timur dan Barat bagaimana mungkin dalam hal kolaborasi pola kebudayaan timur-barat bisa di istilahkan dengan musik dunia antara rasional-irasional/ antara matematis dan imajinasi dan tidak perlu lagi didefinisikan perbandingannya yang jelas kita di Indonesia memiliki jati diri mempunyai keunggulan dalam beberapa hal. Menurut saya bahasa sangat penting.
Kadang kala kita kehilangan arah dengan ‘harta’ yang kita punya dan sering kali kita bermusik secara bermewah-mewahan padahal kita miskin terlebih miskin kepercayaan. Institusi ataupun lembaga/ pemerintah yang berkepentingan barangkali tidak menyadari bagaimana hidup di musik secara sederhana. Berjuang mempertahankan hidup dengan apa yang kita miliki alangkah baiknya kita tidak perlu berpoya-poya asalkan budaya dan kesenian dapat mensejahterakan kita.
Kita mencintai budaya dan seni karena kita percaya mampu menghidupkan semangat hak dari kehidupan ini, mampu sekiranya mensejahterakan banyak masyarakat Indonesia, mampu memberikan pemikiran ilmu yang berkembang. Jikalau kita tidak percaya diri dengan kekayaan ini bangsa Indonesia ini akan kembali miskin, terjajah dan tidak sejahtera sedangkan kita kaya raya. Lalu, apalagi yang kita punya…?
Belum ada kata terlambat bagi siapapun juga baik untuk pelaku seni maupun penikmat dan sebagainya. Sebenarnya Indonesia telah melakukan hal yang serupa dengan dunia. Kita (Indonesia) punya ilmuwan , budayawan, pengusaha, mahasiswa, dokter, cerdik pandai, alim ulama, seniman, dan lainnya. ketika dunia mengenal composer bernama W.A. Mozart membuat composition music, seniman dari Riau bapak Zuarman Ahmad (contoh dari Riau) juga membuat komposisi musik semasa mudanya hingga masa tuanya bahkan ia juga sempat membuat tulisan dan buku mengenai seni dan kebudayaan di tanah kelahirannya. Ketika choreographer dunia (luar negeri) punya kesempatan berkeliling dunia dengan gerak tarinya ialah Tom Ibnur (contoh dari Jambi) juga melakukan hal yang sama dengan pelaku seni tari di dunia persoalanya adalah apa yang dilakukan satu atau dua orang Indonesia tidak semudah dengan seratus atau dua ratus orang di negeri seberang dan belum tentu juga nilai sejahtera yang sama.
Mengulang sejarah yang telah terjadi pada masa yang silam tentunya tidak mau kembali tejadi tetapi apa yang kita miliki ini (baca : seni dan budaya) adalah harta kita satu-satunya (baca : tersisa). Dan untung saja pencurian/ penjajahan yang terjadi pada waktu silam tidak sempat membawa seluruh seni dan budaya ke kota mereka (baca : asing). Hanya itu tersisa kalaupun ada silahkan, kalaupun hilang dibiarkan akhirnya entah mau diapakan.
Tuan-tuan dan saudara-saudara, saya mengulang banyak kata tentang si miskin dan si kaya karena kesenjangan hidup masyarakat Indonesia di dominasi ekonomi menengah kebawah (survey liar saya selama 10 tahun ini) saya pun tak perduli apa hendak jadinya dengan seni dan budaya di Indonesia terutama di Riau kota Pekanbaru tahun 2015 ini. Yang saya tuju dalam tulisan ini mudah-mudahan dibaca oleh beberapa kalangan dapat mengira dari segi Praktik maupun Ilmu seni dapat menjadikan masyarakat lebih sejahtera dan seharusnya kesenian dapat menjual pelakunya pada taraf  hidup yang lebih baik. Dan saya pun yakin wujud dari seni itu mampu memberikan peluang hidup yang lebih baik karena keindahan itu anugerah dari tuhan yang maha kuasa.
Kini dan nanti peran pemerintah sangat diharapkan dalam membahas kesejahteraan hidup masyarakat dan saya duga usaha tentang mengembangkan dan melestarikan seni-budaya pada banyak anggaran sering kali ditemukan hasil yang terputus begitu saja. Seharusnya tiap-tiap usaha itu ada hasil yang berkelanjutan bisa jadi, hasil yang berkelanjutan itu bukan hanya tentang ekonomi saja tapi hasil yang berkelanjutan juga mengenai ilmu pengetahuan atau pendidikan. Dalam beberapa statement oleh pejabat pemerintah (daerah) sering kali menyimpulkan atau meyakinkan banyak pihak : “ayo kita kembangkan seni dan budaya pada generasi muda” namun bagi saya pola pikir pemerintah daerah yang seperti itu tidak realitas malah tidak menumbuhkan semangat bagi pelaku seni karena kepentingan pemerintah daerah menurut saya tidak seluas itu dia cukup menjadi pelaksana tugas dari anggaran dan konsep, kalaupun ingin terlibat dalam peran istilah ‘mengembangkan’ ia (baca : pemerintah) harus bersama dengan pelaku seni merumuskan kebutuhan seni dan pelakunya arti kata pemerintah daerah baiknya (menurut saya) berpola pikir dan ucap ‘Apa saja seni ini – seni itu, Bagaimana seni ini – seni itu, Siapa saja pelaku seni ini – seni itu’ yang intinya mengakui bahwa kesenian dilakukan dengan seni pula, BUKAN pemerintah/ negara yang menciptakan seni dan budaya pada event ratusan juta rupiah yang pernah ada selama ini, pemerintah hanya bekerja dan pelaku seni juga bekerja. kalau tak suka buat pernyataan “Seni dan Budaya milik Negara”
Kalau kondisi seni sudah membaik arti kata sudah memiliki wadah yang baik ketika pelaku seni menjadikan situasi seni sebagai ‘nilai jual jasa’ akan bernilai hari demi hari, ya, kita membahas kesejahteraan pelaku seni dalam kondisi ekonomi yang baik. Kita bisa membayangkan di Terminal ada kesenian rakyat yang menghibur, di Rumah Sakit ada khusus pertunjukan kesenian yang baik bagi pasien, di ruang tunggu Bandara ada ruang khusus music live yang dapat menghibur bagi penumpang pesawat yang delay, taman kota, mal center, gedung olahraga atau di semua pusat-pusat keramaian. Sehingga lapangan pekerjaan semakin membutuhkan tenaga kerja seni akhirnya para Pelajar di sekolah-sekolah umum mampu berkarya dan Mahasiswa seni dari Universitas/ Akademi dapat mengalisa juga berkarya dari kesenian asli tradisional kita (tanpa perlu ditanya orang tua-nya “mau jadi apa”…?). Saya bukan bicara tentang peluang bisnis yang bisa direbut oleh siapa saja, tetapi kesadaran pemerintah mengatur tata ruang usaha untuk kesejahteraan dan minimnya kesadaran pelaku seni berpola pikir sejahtera.
Kita bisa melakukan hal yang sederhana mengenai apakah pelaku seni kita sudah sejahtera. Dengan mudah, kita menjawabnya belum, dan ini memang terlalu naif untuk saat ini dipersoalkan dimana pelaku seni masih mencari bentuk didalam tradisinya pada saat yang sama ia mendesak tata ruang usaha melibatkan dirinya sebagai pelaku. Akhirnya komplek kelemahan yang kita punya entah dimulai darimana entah mau di akhiri dari mana. Atau kita harus menunggu seribu tahun lagi sedangkan kita masih berusaha dalam proses diskusi yang panjang, sedangkan pada waktu mendatang orang lain sudah bosan menunggu kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Warisan Melayu (Portofolio Perkumpulan)

 

Filsafat Seni - SIMBOL MUSIK

(dalam Tugas Filsafat Seni ) Oleh : Muhammad Fauzan A.Md,Sn Assalamualaikum... SIMBOL MUSIK E mosi yang di rasakan menjelma di dalam Simbol Bunyi ( musi k). Interprestasi bunyi,...? pernahkah kita marah besar dengan seseorang dengan volume lemah sambil mengatakan kata pujian..? mungkin saja ada, tetapi ekspresi marah yg kita ungkapkan tidak berhasil dan disangka itu adalah sebuah kemarahan. Begitu juga dengan ekspresi bunyi, walaupun suatu interprestasi membutuhkan ‘ file memory’ tentang apa yang akan ia duga dengan sesuatu yang pernah ia alami misalnya, anak bayi tidak akan pernah menyangka datang ( baca : bunyi) segerombolan lebah dari luar rumahnya sedangkan ia tak pernah sebelumnya mendengar bunyi lebah, akan tetapi bisa jadi ia menduga ( baca : imajinasi) bunyi tersebut adalah sesuatu yang ‘menakutkan’ sedangkan ia tidak memikirkan objek yang berbunyi . Dalam musik ( ilmu) telah ada istilah-istilah baku tentang ekspresi suatu karya misalnya volume pelan disimbo

Komunitas Biola Pekanbaru

Informasi umum untuk Anggota Komunitas Biola Pekanbaru Komunitas Biola Pekanbaru merupakan wadah bagi para pelaku/penikmat/penggiat musik (musisi) pada bidang biola. Komunitas sosial ini didirikan pada tahun 2012 pada bulan juli oleh beberapa musisi yang ada dipekanbaru bersama dengan teman-teman melakukan Pelatihan, Workshop, Penampilan musik, dan kegiatan sosial lainnya. Kita bertekad mengembangkan musik pada bidangnya dan melakukan pengabdian kepada masyarakat luas dan kota pekanbaru pada khususnya. Diantara bentuk kegiatan tersebut ialah : - Menjalin silaturahim antara pemain biola - Membangun / melatih skill individu / kelompok - Memberi / menerima ilmu dan informasi tentang biola & musik - Mengadakan kegiatan sosial baik kegiatan musik ataupun kegiatan umum - Menunjang sebagai media kreativitas musik Syarat bergabung menjadi Anggota di Komunitas 1.       Memiliki instrument/ alat bantu pendukung lainnya : ( Biola, Stand, & Alat tulis) 2.