Langsung ke konten utama

Masa Lalu - Ulal Asam

(Sebuah tulisan Yang berawal dari MADING KAMPUS - AKMR)

Survey hot Malu                

Special edition

Terbitan ke-4


Apakah anda mulai membaca tulisan diatas (baca: ulal asam) dari kanan-ke kiri atau dari kiri-ke kanan…??

Kemudian dari mana anda mulai bacaan yang singkat diatas, dari awal-keujung atau sebaliknya (ujung ke awal)…??

Jawabanya, kita kembali ketitik awal karena kita belum sampai diujung.

Tulisan ini berisi apreciation up date tentang tanggapan, saran dan realnya yang sedang terjadi, pada masa lalu tentang Apa yang anda, dan orang lain kerjakan pada masa lalu dan kini…. Atau jangan dulu kita keluarkan pertanyaan itu. Sekarang kita berada dimana..?? 

PENGUMUMAN

Anda sekarang dimasa kini dan selamat tinggal masa lalu…!!!

Spirit of the future

Sometime, I’m like speaking English…! “Artinya, kadang-kadang saya suka berbicara dengan bahasa inggris”. Nah itulah yang mulai diucapkan oleh anak-anak muda dibeberapa sudut di dunia ini mengapa tidak, karena bahasa ‘ibu’ mereka tidak menjadi sesuatu bagi orang banyak karena banyak anak muda kini berbincang pula dengan orang diluar komunitas mereka baik itu digunakan untuk mendapatkan sesuatu pula. Mengapa..?? ada diantara pembaca yang tidak setuju… ini sebuah riset kecil-kecilan, ini terjadi di kota pekanbaru disana terdapat beberapa orang-orang ‘asing’/atau sebut saja imigran dari berbagai negara yang ditempatkan (baca: ditahan-sementara) di sebuah kantor bernama Rudenim. Semua juga tahu penggunaan bahasa Indonesia/Melayu di kota tersebut sudah popular dan melekat bagi masyarakat tersebut tapi tidaklah membulatkan niat beberapa imigran untuk belajar bahasa indonesia demi untuk membeli sebungkus rokok atau satu porsi makan siang, berati terbukti benar dengan pernyataan diatas “Sometime, I’m like speaking English”. Dan juga tak jarang masyarakat di kota tersebut melayani imigran tersebut dengan bahasa sometime, kenapa…? Mungkin ada dua yang harus dimaklumi Pertama, masyarakat juga sadar kalo imigran tersebut tak ada waktu untuk mengikuti les bahasa Indonesia. Kedua, mereka juga tahu kalau mereka juga tak mau berlama-lama di kota itu karena mungkin saja sia-sia nanti seandainya bahasa ‘ibu- lain’ melekat dan melupakan bahasa negara mereka.

Anggap saja ini sudah terjadi bertahun-tahun sedangkan kedai rokok dan kedai nasi tetap saja laris oleh imigran. Jadi semua persoalan bahasa tidak terlalu menjadi permasalahan.

                                   

Sekarang banyak anak-anak muda tertular dengan bahasa ‘sometime’ ini bukan gara-gara imigran, beberapa anak muda di kota pekanbaru sudah mulai mengatakan “Sometime, I’m like Eine Kleine Nachtmusic.. Sometime, I’m like Vatodo Alganador… Sometime, I’m like String Quartet… Sometime, I’m like Orchestra… Sometime…”. Mereka berbicara pada siapa (red, barangkali pada si Mozart) sehingga begitu seringnya mengucapkan itu, apa anak-anak muda ini sedang menjadi imigran di kota ini atau persiapan untuk berbicara di kota aslinya (baca : inggris dsb) sometime itu berada…? Yaaa,.. walau itu terjemahannya adalah: kadang-kadang dan itu cukup melegakan bagi masyarakat dalam komunitas mereka karena kadang-kadang pula mereka bicara “saya suka Serampang Laut dan saya suka Dondang Sayang” pada imigran sebenarnya di kota itu.

Beberapa hari dan minggu yang lalu imigran dan anak muda di kota pekanbaru sibuk membicarakan seni dan bahasa. Sempat terjadi diskusi ketika budaya berbeda menyaksikan perayaaan kesenian secara bersamaan salah satunya konser musik “Sembang Bunyi 12” yg di adakan di Anjung seni Idrus Tin-tin.


Ramai diberitakan sebuah Orkestra STSR baik media cetak maupun media elektronik sebuah pergelaran musik yang dimainkan oleh mahasiswa dan dosen. Untuk hasil yang maksimal mereka pun berlatih hari demi hari, agar yang sumbang tidak lagi sumbang agar yang diam tidak lagi diam. Sekalian dengan itu, terpampang juga foto seseorang yang dihormati di negeri Indonesia khusus Riau tercinta yakni Bapak Gubernur Rusli Zainal juga ikut mendukung dan berpartisipasi menyumbangkan dua buah lagu pada pergelaran musik orkestra tersebut.

Setahu kami beberapa nomor lagu dinyanyikan dalam teks asli yakni bahasa Indonesia/Melayu seperti lagu Ayam Putih Pungguk namun  sayangnya karena didalam gedung pertunjukan juga turut hadir penonton imigran sehingga agak mengalami masalah mengenai apa isi dan maksud lagu tersebut. Bagaimana tidak, untuk membeli sebungkus rokok saja para imigran harus berulang kali menegaskan maksud dan tujuannya. Ya, ini musik bukan pelajaran bahasa Indonesia musik bisa menjadi umum se-umum-umumnya sehingga dapat menyentuh siapa saja hanya karena suara. Tidak ada unsur paksaan kalau  pribahasa “Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung” untuk dapat dimaklumi diantara kita namun, bisakah kita mulai menggunakan istilah ‘lagu malam’ untuk karya semacam eine kleine nactmusic, bisakah kita menggunakan istilah yang cukup lokal semisalnya cengkok  atau biasa disebut grenek untuk sebuah nada hias yang ilmiah seperti mordent/acciaccatura. Mungkin karena itu juga anak muda popular menggunakan bahasa sometime, I’m liked…

Memang benar seni berkembang sesuai dengan zamannya dan tak ada yang salah dengan ragam perbedaan sejak seni itu hadir di muka bumi ini. Tetapi setelah diusut lagi perkembangan seni kah yang menjadi konsep pertunjukan di dunia ini..? mungkin tidak untuk tahap pertunjukan sekelas orkestra STSR masih terdengar jelas keasingan di ‘rumah sendiri’ ke asingan ditelinga-telinga imigran bahwa manakah yang sebenarnya perkembangan seni jika masih banyak persamaan karya disajikan padahal karya tersebut tidak mejelaskan bahasa ibu tempat kota ini berdiri. Tetapi apresiasi tetap diberi karena tepuk tangan ramai berbunyi.

Semua juga tahu beberapa konser yang pernah ada sedikit banyak melibatkan aktivitas diluar konser itu semisalnya perusahaan-perusahaan swasta yang turut mengambil partisipasi demi terlaksananya konser musik tersebut walau secara tak langsung ini merupakan kampanye positif untuk sebuah pencitraan bagi masyarakat untuk perusahaan itu. Bahkan politik, kekuasaan ,eksistensi jabatan pernah ikut melekat mesra dalam pertunjukan kesenian. Masih hangat setelah konser “Sembang Bunyi 12” beberapa hari dan minggu di media cetak masih menerbitkan foto Gubernur Riau Bapak Rusli Zainal bahwa ia pernah hapal beberapa lagu dan bernyanyi ria dalam hangatnya sentuhan orkestra STSR. Walau itu hanya sesi foto bersama ini semakin menjelaskan siapa-siapa saja orang yang pernah bertumpus lumus untuk sebuah konser orkestra perdana STSR juga termasuk pengurus DKR (dewan kesenian riau) ketua dan pengurus lainnya.

Ini bukan hal mudah untuk sebuah pencitraan, perlu tenaga serta moril yang panas sehingga dapat melunakkan hati mahasiswa yang sedang di mabuk ujian. Biarlah untuk sementara di perkecil jadwal untuk latihan ujian di STSR sehingga mereka rela berkorban menggantinya nanti di hari yang sempit demi sebuah pencitraan bagi mereka yang ‘dewasa’. Namun sayangnya lagi, ketika mahasiswa sedang membutuhkan pencitraan dengan title komponis tidak ada lagi imbas baliknya, Apa salahnya sekedar menonton atau melongok ke sudut-sudut ruangan agar mereka juga tahu beberapa pencitraan pernah mereka dukung dengan semangat yang berapi-api.

Semangat seni pertunjukan memang bukan di wilayah ujian (baca: menurut kami) karena boleh saja di kursi penonton hanya diperlukan kehadiran dosen yang bersangkutan. Itu saja cukup!. Semangat gedung pertunjukan, semangat panggung-panggung yang biasanya menggunakan sablon dan buklet yang mahal tidak hanya membutuhkan seniman-seniman pelaku saja. Barangkali disitu diberi kesempatan bagi orang-orang yang membutuhkan pencitraan karena panggung-panggung juga cukup jitu mempromosikan orang-orang tertentu (dalam hal apapun, baik itu kepentingan politis). Kami kira mahasiswa STSR siap memberikan dukungan kembali bagi siapa yang ingin meraih pencitraan atau sekedar tampil di tv, radio dan koran. Paling tidak, ada gairah yang bergejolak di gedung pertunjukan, di halaman kesenian di kota pekanbaru ini. Dan mengurangi perkelahian sentiment antara pelaku seni karena terbiasa dengan lomba-lomba yang hanya menawarkan kemenangan dan kekalahan. Paling tidak, anak-anak muda di kota ini punya pengalaman berkesenian di gedung semegah Anjung seni idrus tin-tin. Paling tidak, jadikan saja seniman-seniman ‘kecil’ itu alat untuk pencitraan kekuasaan bagi yang mampu. Paling tidak, ruang-ruang berkesenian pernah terisi didalam hati ‘tukang-tukang seni’ di kota pekanbaru. Dan itu keoptimisan untuk seni yang lebih berkembang.

Proses berkesenian mungkin membutuhkan waktu, kesempatan, dan semangat perubahan. Bahwa komunitas-komunitas kecil mungkin harus menghindari improvisasi pelayanan yang disajikan dari berbagai pihak semisalnya gedung pertunjukan Anjung Seni Idrus tin-tin. Kenapa kita harus terburu mengejar persiapan pertunjukan untuk tampil disana. Karena masih ada panggung-panggung yang lain untuk dihidupkan lagi, seniman mungkin yang mampu menjadikan halaman kecil berubah menjadi tempat yang pernah berwarna oleh komunitas yang bukan berimprovisasi disana.

Karya-karya seni dan management seni semoga dapat di aplikasikan oleh anak-anak muda di kota pekanbaru. Dimulai dari proses sekecil apapun walau seperti yang tak di harapkan tapi setidaknya dimulai dari diri sendiri saja itu sudah nilai yang baik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Warisan Melayu (Portofolio Perkumpulan)

 

Filsafat Seni - SIMBOL MUSIK

(dalam Tugas Filsafat Seni ) Oleh : Muhammad Fauzan A.Md,Sn Assalamualaikum... SIMBOL MUSIK E mosi yang di rasakan menjelma di dalam Simbol Bunyi ( musi k). Interprestasi bunyi,...? pernahkah kita marah besar dengan seseorang dengan volume lemah sambil mengatakan kata pujian..? mungkin saja ada, tetapi ekspresi marah yg kita ungkapkan tidak berhasil dan disangka itu adalah sebuah kemarahan. Begitu juga dengan ekspresi bunyi, walaupun suatu interprestasi membutuhkan ‘ file memory’ tentang apa yang akan ia duga dengan sesuatu yang pernah ia alami misalnya, anak bayi tidak akan pernah menyangka datang ( baca : bunyi) segerombolan lebah dari luar rumahnya sedangkan ia tak pernah sebelumnya mendengar bunyi lebah, akan tetapi bisa jadi ia menduga ( baca : imajinasi) bunyi tersebut adalah sesuatu yang ‘menakutkan’ sedangkan ia tidak memikirkan objek yang berbunyi . Dalam musik ( ilmu) telah ada istilah-istilah baku tentang ekspresi suatu karya misalnya volume pelan disimbo

Komunitas Biola Pekanbaru

Informasi umum untuk Anggota Komunitas Biola Pekanbaru Komunitas Biola Pekanbaru merupakan wadah bagi para pelaku/penikmat/penggiat musik (musisi) pada bidang biola. Komunitas sosial ini didirikan pada tahun 2012 pada bulan juli oleh beberapa musisi yang ada dipekanbaru bersama dengan teman-teman melakukan Pelatihan, Workshop, Penampilan musik, dan kegiatan sosial lainnya. Kita bertekad mengembangkan musik pada bidangnya dan melakukan pengabdian kepada masyarakat luas dan kota pekanbaru pada khususnya. Diantara bentuk kegiatan tersebut ialah : - Menjalin silaturahim antara pemain biola - Membangun / melatih skill individu / kelompok - Memberi / menerima ilmu dan informasi tentang biola & musik - Mengadakan kegiatan sosial baik kegiatan musik ataupun kegiatan umum - Menunjang sebagai media kreativitas musik Syarat bergabung menjadi Anggota di Komunitas 1.       Memiliki instrument/ alat bantu pendukung lainnya : ( Biola, Stand, & Alat tulis) 2.