AYO CEGAH KORUPSI...!
adalah menyadari nilai-nilai didalam unsur kebudayaan itu sendiri.
Dibeberapa daerah kabupaten atau kota di Riau ada semacam
sungai larangan namanya, sungai itu dijaga oleh seluruh masyarakat (baca: di suatu
kelompok) untuk setiap tahunnya siap diambil dan dipanen (baca: ikan) bersama.
Jangankan untuk dicuri secara kelompok/bersama-sama, dicuri secara diam-diam
saja orang takut karena masyarakat tahu akan 2 hal :
Sepenggal kata itu yang sekiranya akan membawa saya (baca: penulis) dalam opini bagaimana menghindari perilaku korupsi yang kini sedang marak terjadi baik secara sistem maupun sporadis.“Kearifan budaya Lokal mengajarkan kita pada perilaku Anti Korupsi, Yakni Mensyukuri Nikmat Tuhan Yang Maha Esa dan Jujur dalam berkehidupan”
Semenjak permulaan bernegara, Negara Indonesia dibentuk atas
keinginan warga Negara Indonesia yang menuntut rasa keadilan, rasa persatuan,
kemakmuran dan kesejahteraan baik itu dituntut kepada kolinialisme penjajah
maupun perlakuan yang dilakukan oleh oknum pribumi itu sendiri. Sehingga
bulatlah tekad warga Negara Indonesia untuk bersama-sama mewujudkan
kemerdekaan.
Layaknya membuat sebuah organisasi, Negara Indonesia
membutuhkan Struktur pimpinan Keorganisasian yakni Presiden serta jajaran yang terpilih
mewakilkan rakyat, serta sistem kenegaraan yang akan mengatur Negara itu
sendiri. Akan tetapi pertanyaanya adalah semenjak Negara Indonesia merdeka pada
tanggal 17 Agustus 1945 adakah sistem kenegaraan yang dalam
Undang-Undang mengatur tentang perihal
mengenai KORUPSI dan KORUPTOR…? Saya kira tidak, artinya persoalan korupsi barulah saat ini (baca:
setelah era Orde Baru ) secara gamblang kita jadikan persoalan Negara dan
menjadi musuh bagi banyak lapisan masyarakat. Dan belum terlambat untuk
memperbaiki setiap hal yang dianggap buruk.
Masyarakat Indonesia yang saya yakini adalah
masyarakat yang sangat tinggi menjunjung akan nilai-nilai kebudayaan, apa itu
nilai-nilai kebudayaan,..? nilai kebudayaan yang akan dibahas disini adalah
kearifan budaya lokal terutama budaya Melayu di Riau. Sesuai dengan porsi
kebudayaan pada unsurnya yaitu: Kepercayaan/religi, Seni, Bahasa, Ilmu
Pengetahuan -Sains, Arsitektur, Kemasyarakan sosial, dan Mata pencaharian.
Ingat kembali pada unsur kebudayaan tersebut, jikalau
masyarakat Melayu memiliki sistem kepercayaan/religi adakah mungkin ia akan
melakukan perbuatan mengambil hak orang lain (baca: korupsi) dan menguntungkan
pribadi atau kelompoknya sendiri seolah-olah Tuhan Yang Maha Esa didalam Sistem
kepercayaan tersebut tidak menyaksikan hal keji tersebut.
Adakah hidup bermasyarakat yang telah dibangun oleh
masyarakat Melayu semenjak peradaban melayu itu memberikan jarak/batas sosial
antara satu dengan yang lainnya sehingga cita-cita keluhuran masyarakat melayu
(baca: bersama/sosial) didalam petuah dunia dan akhirat mulai dilupakan
semata-mata hanya mencari persoalan dunia saja - mencari persoalan materi saja,
adakah masyarakat melayu tidak syukur dengan apa yang sudah ditakdirkan sesuai
dengan porsinya. Perlukah lagi setiap masyarakat melayu yang sudah memiliki
kearifan lokal tentang menjaga lingkungan (baca: misalnya) karena persoalan
dunia ia harus menjual harta pusaka (baca: hutan, sungai, dll) kepada orang
lain yang seharusnya tugas orang-orang Melayu tersebut menjaga alam dan
memberikan hak orang lain yang sudah dititipkan kepada mereka untuk dibekalkan
pada anak cucu nantinya. Persoalan tidak mempunyai rasa bersyukur kepada Tuhan Yang
Maha Esa ibarat pepatah orang tua-tua dahulu:
Dikasih jantung minta hati
Dikasih satu minta dua
Dikasih sungai nak minta laut
Tidak pernah ada rasa
syukur inilah penyebab utama kenapa ada setiap tahunnya bertambah jumlah orang
yang melakukan tindakan korupsi, apatah lagi dilakukan dengan merugikan banyak
orang. Yang diajarkan oleh Melayu bersendikan
syarak, syarak bersendikan kitabullah itu tidak lain dan tidak bukan ialah
rasa keadilan dan berkecukupan.
Diurut pula pada secara bahasa di kebudayaan Melayu
tersebut, adakah orang Melayu berdalih setelah ia secara sadar mengambil hak
orang lain kemudian ia memutarbalikkan fakta (baca: bahasa didalam konteks
budaya) bahwa ia amanah dan ingkar janji padahal ia ingkar, ia tidak amanah.
Setahu saya, didalam masyarakat melayu tidak ada semacam hukuman yang bersifat
sistem jika ada satu orang pelanggar yang melakukan kesalahan tetapi, hebatnya
secara sadar masyarakat Melayu itu sangat menyadari dampak apa yang akan ia akibatkan
jika sesuatu yang buruk sengaja dilakukan sehingga dampak yang buruk tersebut
sangat kecil kemungkinan akan dillakukan kembali. Jadi persoalan jujur dalam
berbahasa merupakan kearifan lokal yang harus dijaga tentu akan memberikan
dampak sebelum dan pencegahan tindakan Korupsi itu tejadi.
Para pembaca yang budiman jikalau ada dalih yang mengatakan
bahwa mengambil hak orang lain itu (baca: korupsi) adalah sesuatu yang wajar
dan dapat diterima berarti manusia sudah keluar pada kodratnya, saya akan mencontohkan
kearifan lokal bagaimana berlaku adil versi masyarakat melayu di Riau.
Apa
itu kearifan budaya lokal atau biasa disebut dengan local genius...?adalah menyadari nilai-nilai didalam unsur kebudayaan itu sendiri.
1. Akan ada waktu dimana dilakukan panen
bersama
2. Jikalau diambil juga, akan
memberikan dampak yang buruk bagi sipencuri
Sehinggga alam/lingkungan terjaga dan struktur sosial
masyarakat juga terjaga. Dan yang menarik dalam menjaga kearifan lokal pada
konteks ini pada saat panen (baca: ikan) bersama sang kepala suku ataupun
dukun/bomo yang menjadi pimpinan untuk acara panen bersama tersebut mengambil
seekor ikan besar didalam sungai, setelah menangkap dan mendapat seekor ikan
tersebut ia (baca: dukun/kepala suku) memotong/ membagi ikan tersebut menjadi
dua bagian satu bagian dilempar kesungai dan satu bagian yang lain
ditempatkan/dilemparkan kedarat pertanda seluruh kegiatan panen bersama untuk
masyarakat sudah bisa dilaksanakan. Maknanya sumber daya alam yang manusia
dapatkan itu, tetaplah ia harus pelihara/jaga demi mewujudkan rasa keadilan
sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Memang terkadang pelaku korupsi ditandai
setelah Negara (baca: hukum/ pengadilan) yang memutuskan apakah perilaku
tersebut masuk dalam suatu perkara melanggar hukum atau tidak. Akan tetapi
persoalan hukum saja tidak akan merubah paradigma bagaimana mencegah korupsi
sebab banyak dan sering terjadi juga siapa yang bersalah belum tentu dihukum
sedangkan yang benar dijatuhi hukuman berat. Artinya slogan aparatur Negara
tentang: Negara ini Negara Hukum,
adalah point berikutnya untuk mencegah/merubah
perilaku buruk dari korupsi.
Sebagai warga Negara Indonesia sikap
kita untuk membangun mentalitas pada arah yang lebih baik ada banyak faktor
pendukung seumpamanya Agama, Ilmu pengetahuan, Sosial, Seni dan Adat Istiadat
sekiranya itu menjadi satu maka jadilah ia sebuah kebudayaan artinya untuk
membangun sikap anti Korupsi pada peradaban masyarakat tonggak pertama yang
sebaiknya ditekstualkan adalah masyarakat
kita masyarakat yang berbudaya dan berbangsa sebab kearifan lokal pada kebudayaan
Melayu berfalsafah melayu bersendikan
syarak, syarak bersendikan kitabullah.
Lebih kurang 70 tahun Negara Indonesia
merdeka, merdeka membentuk jati diri bangsa yang sebenarnya yaitu jati diri
yang menerima keluhuran budaya bangsa serta mengembangkan unsur-unsur kebudayaan
tersebut secara bermartabat dan dinamis. Dan kembali pertanyakan pada diri kita
sendiri siapakah yang memiliki budaya bangsa ini, siapakah yang menjadi pelaku
budaya bangsa ini semua akan kembali dijawab oleh anak-anak bangsa ini sendiri
yang mampu berrmental tinggi menjunjung tinggi rasa bersyukur kepada Tuhan Yang
Maha Esa dan Jujur melakukan sesuatu sebagai mahluk ciptaan Tuhan diantara
mahluk lainnya sehingga mampu menjaga alam dan lingkungan untuk kelangsungan
hidup yang dinamis. Tentunya, jikalau opini tersebut dapat kita realisasikan
menurut saya (baca: penulis) perilaku korupsi tidak akan berkembang
dimana-mana.
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Hari Anti Korupsi Internasional
yang diselenggarakan KPK dan Blogger Bertuah Pekanbaru